Cinta

Pada sebuah kota tua, didalam sangkar cakrawala alam nan megah aku lahir. Terlahir didalam sebuah keluarga miskin yang hidup luntang lanting. Kehidupanku sangat keras, bahkan untuk melanjutkan sekolah pun, aku tak bisa melakukannya. Ayah bekerja sebagai kuli angkut hasil pertanian. Upahnya tak lebih dan tak kurang dari 30 ribu setiap harinya. Namun itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga kami. Sedangkan ibuku sekarang ini menderita asma yang tak kunjung sembuh dan sudah tidak bisa berjalan lagi.
Sangat sedih rasanya mengingat kehidupan keluargaku ini, setelah ditinggal pergi oleh kakakku yang sudah menikah dikota. Entah sudah berapa tahun dia tidak kembali, meninggalkan kami dengan yang hidup melarat seperti ini. Pernah terlintas difikiranku, jika kakakku itu tidak akan kembali lagi kepada kami atau mungkin sudah lupa dengan keluarganya. Aku sudah tidak peduli lagi kepada kakakku itu. Sewaktu bersama, aku sangat mengaguminya, dia sangat baik dan pintar. Namun kali ini, aku sudah tidak memikirkannya lagi.
“… ma? Kataku sambil menggenggam tangan ibuku yang terlentang ditempat tidur. “ho keumeung jak, nih? Kata ibuku terbata-bata sesak didadanya. “Ulon keumeung geulake izin keumeung jak, mungkin trep ulon ideh, keumeung mita rezeki” kataku duduk bersebelahan dengan ibuku. “pubut kajak keudeh nih? Jak minta aduen keuh? Aduen kah hana iwoe le keuno, ka mangat tinggai bak kota”. Kata ibuku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “lon hana berharap le bak kakak lon nya, ka 5 thon ditinggai tanyoe lage nyoe. Lon keumeung udep mandiri mak. Mita peng untuk droe keuh, peu puleh mak ngon bantu-bantu ayah. Hana jeut ulon mita I gampong nyoe” kataku dengan agak tegas, tetapi dengan nada yang sedang. “tulong cok tah diateuh rak nyan nih? Kata ibuku sambil menunjuk sebuah rak didepan kasurnya. Tanpa disuruh dua kali oleh beliau, aku pun bangun dan lekas menuju rak yang ditunjuk ibuku dan kembali kepadanya. Kukembali duduk di sebelahnya dan memberikan tas situ kepada ibuku. Beliau menerimanya dengan senyuman. Tanganya membuka kancing tas itu, dan memasukan tangannya disana.
“Assalamu’alaikum” terdengar suara agak keras dari pintu rumahku. Suaranya itu terdengar tidak asing dari telingaku. Itu adalah ayahku. beliau baru saja pulang dari gotong royong di mushola desa. Membawa sebuah cangkul dan parang yang sudah kotor terkena tanah. Beliau terlihat kelelahan, namun wajahnya begitu begitu segar setelah melihat aku dan ibu duduk bersama. Aku yang menyadari kepulangan ayahku, langsung beranjak bangun untuk menyalami beliau dan mengambil peralatan yang dibawa ayahku kemudian menaruhnya didapur.
Sesampai didapur, aku berencana ingin membuat secangkir kopi. Kutelusuri seisi dapur, namun aku tak menemukan bubuk wangi itu. Kutemukan hanya sebuah teh yang isinya tidak penuh lagi. hanya teh yang bisa kusajikan untuk mereka. Setelah selesai, aku kembali ke ruang tengah dengan berjalan pelan agar sajian teh hangatku ini tidak tumpah oleh gocangan tubuhku saat berjalan. Kumelihat ayah duduk disamping ibu, sedang membicarakan sesuatu. Namun tidak mendengarkan mereka. Akhirnya aku sampai dan menyajikan mereka sepasang teh hangat. Ibuku sangat menyukai teh, selain enak minuman itu bisa mencegah asmanya kambuh kembali. Setelah menyajikan minuman itu, kududuk di sebelah kaki ibuku. Ayah mencoba mengangkat tubuh ibu agar tubuhnya bersandar disisi dinding. Diambilnya segelas teh dan sendok, kemudian ayah menyulapkan sesendok demi sesendok air teh kemulut ibu.
Aku hanya menyaksikan kesetiaan ayah terhadap ibu didepan mataku. Sambil melakukannya dengan telaten, ayah membukakan pertanyaannya untukku. “Ho keumeung jak neuk? Tanya ayah melemparkan pertanyaan kepadaku sambil serius menyuapi teh kepada ibuku. “keumeung neulake izin keu awak droe keuh, keumeng neukjak u kota, ayah. Ulon keumeung jak meuranto” jawabku dengan tenang. Setelah ibu menyudahi suapan teh dari ayah, ayah menaruh gelasnya kembali dan kemudian meminum sedikit air teh miliknya dan menaruhnya kembali. “Keumeng lage aduen kah nyoe, neuk? Keumeng jak tinggal ureung chik digampong keudro? Bek lage nyan hai aneuk. Droe keuh aneuk saboh nyang na, nyang laen hana mupat le hai, neuk. Ayah neubri ujo droe neuh keumeung jak meuranto, tapi beuna manfaat ngon ingat ureung chik, bek lage aduen, nyang gadoh hana le nan” jawab ayahku dengan tegasnya memberikan nasihat kepadaku dengan pandangan yang menaruh harapan besarnya kepadaku. “bukeun lage nya ayah, ulon hana jak lagee aduen jak peutinggai tanyoe disinoe, ulon keumeung jak peubukti keu ureung chik lon atawa lon jeut keu ureung. Lon hana keumeung lage aduen lon. Lon keumeung leubeh dimata ureung chik lon, ayah”. Jawabku sambil bersujud dikaki ibu, tersendak sambil menangis mengeluarkan air mata. Ibuku juga mengeluarkan air mata, dan mengelus pundak ku agar ku berhenti menangis. “jeut wahai aneuk lon, nyang peunteng bek meulagee ideh beuh? Mita nyang na manfaat, mita buet nyang na pahala, nyang halal beuk pubuet nyang maksit. Nyang kupeuteugas bak droe keuh” ayahku memberikanku nasehat lagi. Aku tak berhenti menangis dikaki ibuku. “kajeut nih, bek lee ka kliek. Mak han ek droe lagee nyoe. Piyoeh keuh nih, piyoeh ?”. ibuku menyuruhku untuk mencukupi tangisanku dan mengelus pundakku dengan sedikit mendorongku. Aku bangun dari tangisanku, bangkit dan melihat kedua orang tuaku dengan raut wajah sedih tidak bisa merelakan aku pergi. “nyoe keuh neuk? Na rezeki dari ayah, mungkin jeut geubantu droe keuh lam jalan.” Ayah menawarkan kusebuah wadah mini yang dibuat dari kain diberikan tali sebagai pengikat diatasnya, kurasa itu adalah uang hasil kerja ayah. “hana pu ayah, awak droe nyang leubeuh peureule jinoe, lon hana pu, ayah” jawabku menolak dengan lembut penawaran ayahku. “Hana pu neuk, anggap mantong pemberian nyoe, usaha terakhe kamoe sebagai ureung chik keu aneuk. Trimong beuh? Ayah hana mangat hatee ujoe droe hana geuteurimoeng peumberian kamoe” jawab ayahku lagi dengan penuh harapan besar kepadaku. Tidak sanggup rasanya aku menerima, ini adalah hasil kerja kerasnya. Apakah aku harus menerimanya? Batinku terus berbicara, sedangkan diriku terdiam memandang mereka yang berharap kepadaku. Sekejap mata tangan ayahku sudah berada dikantong depan baju kemeja putihku yang memang sudah agak kusam, ditaruhnya wadah kain yang berisikan bantuan dari mereka. Aku sudah tidak bisa menolak lagi. Ayahku menarik kembali tangannya dan aku dengan lekas memeluk mereka berdua. “Trimong geunaseh ayah mak? Hana kuteupu ngon pue kubalah awah droe keuh, rayeuk that jasa droe keuh keu lon nyoe, sigoe teuk trimong geunaseuh ayah, mak? Jawabku terharu dengan apa yang mereka lakukan. Kubersujud dan menciumi tangan mereka berdua. “hana pu hai aneuk, nyang penting droe bek tuwoe keu kamoe nyang ka tuha nyoe.” Itu perkataan terakhir dari orang tuaku. Kemudian aku melangkahkan diri menuju pintu, memalingkan wajahku lagi kearah mereka. Kutersenyum lebar, betapa bahagianya aku mendapatkan keluarga seperti mereka, keluarga yang penuh kesetiaan, kepedulian, dan penuh cinta.
aku pergi dengan hati yang lapang, dan mengucapkan
“Assalamu’alaikum wr. wb”


Note: Mohon maaf jika terdapat kesalahan pada penggunaan dialog bahasa aceh.

Related

Kutulis 287282409575100367

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Visitors

Flag Counter

Connect Us

item